Tafsir Ibnu Katsir (Dok. Pribadi)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerdas artinya sempurna perkembangan akal budinya. Dalam hal ini, termasuklah pula perkembangan untuk berpikir, mengerti, memahami, dan bertindak. Sudah bukan rahasia lagi untuk menjadi cerdas itu pasti membutuhkan ilmu. Terlebih lagi bagi seorang muslim, ilmu sangatlah penting dibandingkan amal dan menempati posisi yang tinggi di hadapan Allah ta’ala.

“… Sebab Allah akan melebihkan orang-orang mukmin dan orang-orang yang diberi ilmu di antara kalian beberapa derajat …” (QS. Al-Mujaadilah : 11)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham dan mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambil ilmu maka ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR. Tirmidzi)

Amalan atau aktivitas yang dilakukan tanpa dasar ilmu hanya akan membawa kita pada kesalahan. Katakan saja sholat yang dilakukan tanpa tahu ilmunya tidak akan menghantarkan kita kepada pahala, bahkan bisa jadi justru mendapatkan dosa. Contoh lainnya yang lebih sederhana dalam kehidupan yaitu seseorang yang tidak tahu ilmu memasak nasi, bisa saja ia mendapati nasinya hangus atau keras.

Di dalam buku Hilyah Thalibil ‘Ilmi karya Bakr bin Abdullah Abuzaid, terdapat perkataan Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah, seorang ulama besar asal Spanyol yang hidup pada abad ke-4 hijriyah dan fakih di beberapa disiplin ilmu, “Ilmu menurut kesepakatan ulama dibagi menjadi tiga tingkatan: ilmu tertinggi, ilmu menengah dan ilmu terendah. Ilmu terendah adalah ilmu melatih anggota-anggota tubuh dalam pekerjaan seperti menggambar dan menjahit, ilmu menengah adalah pengetahuan tentang ilmu dunia seperti ilmu kedokteran dan teknologi, dan ilmu yang tertinggi menurut mereka adalah ilmu ad-diin yang tidak boleh seorangpun berbicara tentangnya tanpa bersandarkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.”

Dan yang akan menjadi titik tekan pembahasan utama saat ini adalah yang berkaitan dengan tingkatan ilmu tertinggi, yakni ilmu ad-diin alias ilmu syar’i. Mengapa?

Realita Wanita Masa Kini

Kita sudah sama-sama tahu, bahwa realitanya, wanita sejak dahulu hingga sekarang adalah obyek yang paling mudah dipengaruhi, entah itu dari sisi gaya hidup,  pemikiran atau bidang lainnya. Tak usahlah jauh-jauh berbicara tentang kemunduran kaum wanita secara ekstrem, cukup hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari saja kita sudah cukup prihatin dengan kondisi zaman sekarang.

Contohnya saja berbagai produk kecantikan yang diluncurkan sedemikian rupa hingga terbentuk mindset bahwa wanita cantik itu adalah yang putih, mulus dan langsing. Kita berbondong-bondong berlomba untuk menjadi putih dan langsing. Yang selain itu? Kita tidak percaya diri.

Di dalam bidang ilmu pun demikian. Muncul anggapan bahwa wanita cerdas adalah wanita yang hanya memiliki prestasi akademik yang membanggakan, karirnya bagus, mampu berdebat di ranah publik, dan sebagainya yang bersifat materi dan keduniawian. Lantas bagaimana pula dengan wanita yang tidak menyicipi bangku kuliah, apa dia dikatakan tidak cerdas? Atau mereka yang tidak berkarir di luar melainkan seorang ibu rumah tangga yang saban hari berkutat dengan dapur, tetapi berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang yang cerdas dan santun, apakah mereka tidak layak disebut wanita cerdas?

Kita saat ini berada di tengah-tengah kondisi yang seperti itu. Kondisi di mana banyak muslimah berlomba-lomba menuntut ilmu duniawi tanpa menyeimbangkan ilmu ad-diinnya. Kita berlomba-lomba mengikuti kursus bahasa asing seperti Bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, tetapi kita lengah untuk belajar memperbaiki bacaan Al-Qur’an kita. Kita sibuk menelaah tentang teknologi, pemikiran, sosial budaya, tetapi kita enggan mendalami ilmu yang berkaitan dengan akidah dan fikih. Jangan ditanya tentang biografi tokoh-tokoh besar dunia, kita hapal nama-namanya, tetapi kita merasa berat hati untuk menelaah sirah nabi kita dan para sahabatnya. Tak luput di kehidupan rumah tangga, kita mampu menjawab berbagai teori pendidikan ala barat, tetapi kita tidak tahu-menahu tentang pendidikan cara Islam sebagai bekal dalam mendidik anak.

Tak jarang pula kita temui banyak orang yang berfatwa tanpa ilmu, beramal tanpa ilmu. Tidak perlu kita pungkiri, inilah realita kita, muslimah, saat ini. Tidakkah kondisi seperti ini membuat kita gelisah?

Cerdas dengan Membaca

Cerdas menurut saya bukanlah hanya dalam hal intelektual saja, melainkan juga memiliki visi masa depan bahwa akan ada kehidupan akhirat yang menunggu kita. Muslimah yang cerdas adalah yang mampu menyikapi kondisi, menentukan prioritas, mengetahui posisi diri kita sebagai muslimah dan dalam berinteraksi. Untuk menjadi muslimah yang cerdas, sekali lagi, kita butuh ilmu.

Kalau kita menilik ke belakang, pada kisah-kisah para pecinta buku dan ilmu dalam rentang sejarah, kita akan menemukan bahwa kecintaan mereka terhadap aktivitas membaca dan mencari ilmu mampu membuat kita geleng kepala dan berdecak kagum.

Di Mesir, seorang Yunani bernama Demetrius mendirikan perpustakaan terbesar dunia kuno bernama Alexandria karena kecintaannya pada ilmu. Di Spanyol abad pertengahan, Al-Hakam II telah membaca 400.000 jilid buku dari perpustakaan yang didirikannya.

Selain dua contoh tersebut, ada pula ulama Islam yang tidak kalah ‘gila’-nya dalam hal membaca. Misalnya seperti Hasan Al-Lu’luai yang senantiasa tidur dengan buku tergeletak di atas dadanya selama 40 tahun usia hidupnya, atau Ibnul Jauzi yang telah membaca 200.000 jilid buku. Ada Abul Alla’ Al-Hamadzani yang menjual satu-satunya harta yakni rumahnya untuk membeli buku, Ibnu Taimiyyah yang tetap membaca meskipun dalam keadaan sakit berat, juga seorang Imam Muhammad bin Ya’qub Fairuz Abadi yang mengeluarkan 50.000 mitsqal emas (senilai 21 milyar rupiah) untuk membeli berbagai buku berharga.

Imam Ahmad, seorang imam besar hadits, melakukan perjalanan mencari ilmu dan As-Sunnah ke perbatasan-perbatasan, negeri-negeri Syam, negeri-negeri tepi pantai, Maroko, Aljazair, Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan, gunung-gunung, dan setiap sudut, kemudian barulah beliau kembali ke Baghdad.

Inilah beberapa kisah orang-orang yang cinta ilmu. Kita sendiri tahu seperti apa kualitas ulama-ulama terdahulu. Kalau membandingkannya dengan diri kita, rasanya jauh, ya? Tetapi paling tidak, secuil informasi dari kisah mereka ini bisa memotivasi diri kita untuk membaca dan menuntut ilmu.

Buku-Buku Berkualitas

Menurut saya, semua buku yang ditulis berdasarkan hasil pemikiran, riset dan analisa penulisnya, siapapun itu, adalah buku yang berkualitas, sebab di balik buku-buku tersebut, ada jerih payah seseorang yang menghabiskan waktu tidurnya, pikiran dan tenaganya untuk menelurkan karya. Ada begitu banyak buku berkualitas di sekitar kita meskipun standar kualitas ini relatif bagi setiap orang. Bisa jadi menurut saya buku A berkualitas, menurut teman saya tidak. Subyektif.

Tetapi, bagi kita sebagai muslimah yang juga sambil belajar, membaca buku pun membutuhkan waktu, tenaga dan pikiran. Maka, mengingat usia yang semakin berkurang, kita pun perlu menentukan skala prioritas bacaan. Karena tingkatan ilmu menurut pembagian para ulama tadi ada tiga di mana ilmu ad-diin adalah yang tertinggi, maka saya juga akan membagi topik pembahasan tentang buku ini ke dalam tiga bagian.

1. Buku-Buku tentang Ilmu Ad-Diin

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di dalam Kitab Al-Ilmi menjelaskan bahwa untuk ilmu ad-diin, seperti akidah, fikih, tafsir, sirah, dan sejenisnya, hendaknya kita belajar dari kitab induk yang terpercaya, yang ditulis oleh ulama yang terkenal dalam ilmunya, amanahnya, dan keselamatan akidahnya. Tujuannya agar kita tidak salah dalam memahami ilmu syar’i karena langsung berhubungan dengan amalan kita sehari-hari.

Bagi yang baru memulai belajar, lebih dianjurkan untuk membaca buku-buku yang ringkas tentang topik yang ingin dipelajari agar tidak kesulitan nantinya memahami isi buku. Tetapi bagi mereka yang sudah terbiasa dengan bacaan yang banyak, tidak ada salahnya membaca buku atau kitab pokok yang lebih besar dan memiliki banyak penjelasan. Kalau perlu siapkan catatan untuk mencatat hal-hal penting atau kurang jelas yang dapat ditanyakan ke ahlinya atau sebagai bahan diskusi.

Membaca buku-buku sejenis ini juga perlu diiringi dengan mengikuti majelis ilmunya karena belajar langsung dari guru adalah jalan terbaik menuntut ilmu. Namun, jika kita kesulitan dari segi waktu dan tenaga, maka kita bisa memanfaatkan fasilitas internet untuk mendengarkan video kajian kitab yang kita baca. Saat ini sudah banyak tersedia kajian-kajian kitab induk Islam.

2. Buku-Buku yang Baik Selain Ilmu Ad-Diin

Selain dari buku tentang ilmu ad-diin, seorang muslimah bisa juga membaca tema lainnya. Parameter bagi seorang muslimah terkait buku-buku di luar ilmu ad-diin ini adalah yang di dalamnya mengandung kebaikan, yang bisa bermanfaat untuk kehidupan seorang muslimah, selain juga tidak menyimpang dari manhaj Islam yang benar. Termasuklah di sini buku-buku pengetahuan umum seperti sejarah, sains, pendidikan, dan lain-lain.

3. Buku-Buku Selainnya

Bagaimana dengan buku-buku di luar dari dua kategori sebelumnya? Misalnya saja buku tentang pemikiran lain di luar Islam atau topik yang isinya terkadang bertolak belakang dengan Islam, apakah kita perlu membacanya? Menurut saya, ini tergantung kondisi pribadi kita.

Sebagaimana makanan dan minuman bagi tubuh, buku itu ibarat makanan bagi otak. Akan lebih baik jika hendak membaca buku-buku seperti itu, kita sudah memiliki pemahaman yang utuh agar tidak mudah terikut arus atau bahkan membuat kita bingung. Jika kita membaca buku-buku dengan topik perbandingan pemikiran tanpa benteng pemahaman yang kuat, lambat laun kita akan mengarahkan diri kita pada pemikiran terkait. Pemahaman ini berguna untuk menyaring informasi lebih lanjut. Apabila kita merasa belum siap dengan buku-buku jenis ini, sebaiknya cukup kita hindari.

Budaya Menulis

Salah satu cara untuk menjaga ilmu adalah dengan menuliskannya. Jadi, saat kita membaca buku, buatlah koleksi catatan untuk menuliskan informasi penting, kutipan unik, kritik atas pendapat di buku, dan hal-hal lainnya yang kita anggap perlu untuk dicatat. Suatu saat, koleksi catatan ini dapat kita gunakan untuk membuat tulisan tersendiri. Para ulama kerap melakukan hal seperti ini sehingga catatan-catatan tersebut dikembangkan menjadi risalah terpisah. Dengan menulis, kita akan lebih ingat atas apa yang sudah kita baca.

Diskusi vs Debat Kusir

Budaya diskusi di dalam Islam telah ada sejak masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.  Pada masa itu, para sahabat terbiasa berada di dalam majelis ilmu rasulullah dan melakukan tanya jawab kepada beliau atau membicarakan tentang perkara-perkara agama yang diajarkan nabi di kalangan mereka.

Diskusi tidaklah sama dengan debat kusir. Diskusi yang baik dapat memberikan manfaat yang besar, seperti memperlihatkan mana yang benar dan mana yang salah, mana pendapat yang kuat dan mana yang lemah. Diskusi dibangun atas landasan saling menasihati, kelembutan, serta penyebarluasan ilmu.

Sedangkan debat kusir adalah kebalikannya. Di dalamnya cenderung berisi perbantahan, kesombongan, menang-kalah, pamer kepandaian, juga kekacauan yang tak jarang berujung pada permusuhan dan penyakit hati.

Kegiatan membaca sangat berpeluang membuka pintu diskusi karena hal ini dapat menambah wawasan seorang muslimah. Jadi hindarilah debat kusir dan budayakanlah diskusi yang baik.

Teko dan Cangkir

Untuk mengisi air ke sebuah cangkir, teko harus berisi air terlebih dahulu. Seperti itu pula kita sebagai seorang muslimah. Di dunia kerja dan kuliah, kita adalah teko bagi teman-teman kita. Bagi yang sudah berumah tangga, kita adalah teko bagi anak-anak kita dan anggota keluarga. Bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain memiliki pemahaman yang baik, sedangkan kita enggan untuk mengisi diri kita dengan pemahaman yang benar. Bagaimana pula kita mengharapkan anak-anak kita gemar membaca, sementara kita sendiri enggan membuka buku di depan mereka.

Membacalah sebanyak yang kita bisa. Pelajari dan amalkan agar buku-buku itu menjadi manfaat.

“Ilmu tidaklah dicapai dengan badan yang bersantai-santai” (‘Abdurrahman bin Abu Hatim)

Buku yang Dibaca:

  • Al-Qur’an tarjamah tafsiriyah, Al-Ustadz Muhammad Thalib
  • Kitab Al-Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Gema Ilmu
  • Hilyah Thalibil ‘Ilmi, Bakr bin Abdullah Abuzaid, Al-Qowam
  • Begini Seharusnya Menjadi Muslimah Cerdas, Mubasysyirah binti Mahrus Ali, At-Tibyan
  • Gila Baca ala Ulama, Ali bin Muhammad Al-‘Imran, Kuttab Publishing
  • Kisah-Kisah Para Ulama dalam Menuntut Ilmu, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Kautsar
  • Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, Fernando Baez, Marjin Kiri

Catatan Tambahan:

Daftar buku berikut tidak menafikkan jika buku di luar daftar ini tidak bagus. Ini hanyalah beberapa contoh saja agar memudahkan pembaca mencari rujukan awal.

  1. Untuk mengetahui berbagai buku Islam rujukan yang direkomendasikan para ulama secara bertahap, khusus untuk para penuntut ilmu, dapat dilihat pada halaman ini. Beberapa di antaranya ada yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, banyak juga yang belum. Buku-buku tersebut memiliki tahapan bacaan dari yang tingkat awal sampai yang lanjut. Dari seluruh buku yang disebutkan, beberapa di antaranya bisa kita baca sebagai rujukan pokok kita.
  2. Untuk para muslimah, berikut ini beberapa buku Islam referensi tambahan yang menurut saya bagus dan in sya Allah sangat bermanfaat sebagai rujukan kita sehari-hari yang berkaitan dengan kemuslimahan:

Fikih

  • Fiqih Sunnah Wanita, Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim. Diterbitkan oleh beberapa penerbit. Atau buku sejenis lainnya seperti Ensiklopedi Fikih Wanita, Muhammad bin Sayyid al Khauli, Penerbit Pustaka Imam Syafi’i.
  • Fikih Ibu (dalam cetakan lama berjudul “Fikih Ummahat”), Wafa’ binti Abdul Aziz As-Suwailim, Penerbit Ummul Qura
  • Fikih Wanita Hamil, Yahya bin Abdurrahman Al-Khathib, Penerbit Qisthi Press.
  • Haid dan Nifas dalam Madzhab Syafi’i, Munir bin Husain Al-‘Ajuz, Penerbit Pustaka Arafah. Atau buku sejenis lainnya seperti Amalan Muslimah di masa Haid & Nifas, Abu Ihsan dan Ummu Ihsan al Atsari, Penerbit Pustaka Imam Syafi’i.
  • Fiqih Kesehatan Wanita (Kontemporer), dr. Raehanul Bahraen, Penerbit Pustaka Imam Syafi’i.
  • Fikih Birrul Walidain, Mushthofa bin Al-’adawi, penerbit Al-Qowam

Sirah dan Biografi

  • Biografi 35 Shahabiyah Nabi, Syaikh Mahmud al-Mishri. Diterbitkan oleh beberapa penerbit.
  • Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam, Dr. Bassam Muhammad Hamami, Penerbit Qisthi Press
  • Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, penerbit Pustaka Al-Inabah

Kesehatan

  • Panduan Kesehatan Wanita, dr Avie Andriyani, As-Salam Publishing
  • Panduan Kesehatan untuk Sang Buah Hati, dr Avie Andriyani, As-Salam Publishing

Pernikahan dan Keluarga

  • Aku Terima Nikahnya, Syaikh Ahmad Abdurrahim, Penerbit Istanbul (Lini Aqwam)
  • Kado Pernikahan, Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, penerbit Pustaka Al-Kautsar
  • Fikih Kontemporer Wanita Dan Pernikahan, Muhammad Samih Umar, Penerbit Aqwam
  • Islamic Parenting, Syaikh Jamal Abdurrahman, penerbit Aqwam
  • Pendidikan Anak dalam Islam, Abdullah Nashih Ulwan, penerbit Insan Kamil (atau penerbit lainnya)
  • Segenggam Iman untuk Anak Kita, Mohammad Fauzil Adhim, Penerbit Pro-U Media
  • Membuat Anak Gila Membaca, Mohammad Fauzil Adhim, Penerbit Pro-U Media
  • Anak Bertanya, Anda Kelabakan, Layla TM, Penerbit Aqwam

Lainnya

  • Adab Berpakaian dan Berhias, Syaikh Abdul Wahab Abdussalam Thawilah, Pustaka Al-Kautsar
  • Samudera Hikmah di Balik Jilbab Muslimah, Sufyan bin Fuad Baswedan, penerbit Pustaka Al-Inabah
  • Aplikasi Manajemen Waktu Wanita, Dr. Jasim Muhammad Badr, Penerbit Multazam. Atau buku sejenis lainnya seperti Breaking the Time, Satria Hadi Lubis, penerbit Pro-U Media
  • Tanya Jawab Psikologi Muslimah 133 Persoalan Wanita, DR. Sa’ad Riyadh, penerbit Aqwam

Masih ada banyak lagi buku-buku bagus yang bisa kita baca. Silakan kita eksplorasi lebih banyak ^^

Pin It on Pinterest

Share This