Dari Kengerian Masa Depan Bumi sampai Gaya Hidup Minim Sampah

Saya pernah belajar tentang perubahan iklim di sekolah dulu. Buku-buku IPA sering membahas efek rumah kaca, pemanasan global, pencemaran bumi, dan hal-hal yang berkaitan dengan pelestarian alam. Saya tahu bahwa gas rumah kaca akan membuat bumi semakin panas, es di kutub akan mencair, akan terjadi banyak bencana alam, dan seterusnya, dan seterusnya.

Selanjutnya? Ya sudah, selesai. Saya hanya sampai di batas itu, lalu kembali pada rutinitas harian, dan melanjutkan hidup tanpa berpikir rumit tentang keadaan sekitar. Seolah isu pemanasan global hanyalah dongeng menjelang tidur tentang masa depan bumi.

Sampai kemudian David Wallace-Wells membuka mata saya dengan kengerian-kengerian yang akan terjadi di masa depan akibat perubahan iklim lewat bukunya yang berjudul Bumi yang Tak Dapat Dihuni. Apa yang digambarkan Wells di buku tersebut membuat saya tersadar, bahwa ternyata, angka satu, dua, empat atau lima derajat kenaikan suhu bumi tidaklah sekadar angka-angka remeh yang kemunculannya bisa kita abaikan begitu saja.

Keadaan Bumi di Masa Depan

Pernah melihat Song Joong-ki mengenakan masker oksigen di film Space Sweepers yang rilis awal 2021 lalu? Ceritanya menggambarkan pencemaran udara di bumi yang sudah sangat pekat. Orang-orang harus mengenakan alat bantu untuk bernafas dan bumi menjadi tidak layak huni. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik, bahkan jika harus pergi ke planet lain.

Jauh sebelum itu, Roland Emmerich di tahun 2004 sudah menceritakan tentang badai salju yang melanda Amerika Serikat di dalam The Day After Tomorrow. Akibat suhu minus, banyak korban yang mati membeku. Mereka yang selamat sampai harus berebut makanan dengan serigala demi bertahan hidup.

Tak kalah ekstrem, Kevin Costner pun pernah mengisahkan masa depan bumi di film Waterworld tahun 1995. Bumi dilapisi air dan kota-kota terendam. Manusia terpaksa hidup berkoloni dan menciptakan kota-kota terapung.

Film-film tersebut dibuat tentunya bukan tanpa alasan. Kekhawatiran akan keadaan bumi di masa depan akibat perubahan iklim akhirnya menciptakan kisah-kisah yang cukup mengerikan.

Hal ini sejalan dengan tinjauan David Wallace di Bumi yang Tak Dapat Dihuni terhadap skenario terburuk untuk pemanasan global. Ia menyebutkan bahwa pada kenaikan dua derajat, lapisan es akan mulai hancur dan tambahan 400 juta orang akan kekurangan air. Akan ada banyak kota di sekitar khatulistiwa yang tak layak huni lagi. Gelombang panas akan menewaskan ribuan orang tiap musim panas. Bakal ada tiga puluh kali gelombang panas ekstrem di India dan berlangsung lima kali lebih lama.

Di kenaikan tiga derajat bagaimana? Akan terjadi kekeringan permanen di Eropa bagian selatan, kekeringan sembilan belas bulan lebih lama di Amerika Tengah, dan perpanjangan lima tahun kekeringan di Afrika bagian utara. Kebakaran hutan akan meluas dua kali lipat di Laut tengah dan enam kali lipat di Amerika Serikat.

Kenaikan empat derajat akan menyebabkan tambahan delapan juta kasus demam berdarah dan krisis pangan global. Akan ada 9 persen lebih banyak kematian akibat panas dari populasi dunia.

Kerusakan banjir akan meningkat hingga tiga puluh kali lipat di Bangladesh dan enam puluh kali lipat di Inggris. Di sebagian tempat lainnya, enam bencana alam akibat iklim bisa terjadi bersamaan sekaligus.

Konflik dan perang pada akhirnya akan berlipat ganda. Manusia akan berebut air, makanan, dan udara bersih.

Sumber: Dokumen Pribadi

Apa yang digambarkan David tersebut berhasil membuat saya merinding dan melihat ke belakang, ke masa lalu yang pernah dilewati. Coba deh, merasa, nggak, kalau cuaca panas di sekitar kita sekarang ini lebih menyengat dibandingkan beberapa tahun lalu? Dulu kita masih bisa menikmati pagi hari yang sejuk, tetapi kini suhu 32 sampai 34 derajat lebih sering menemani aktivitas kita hingga siang menyapa. Panas, gerah, dan melelahkan. Produktivitas kita pun jadi menurun karena dinginnya AC kamar dirasa lebih nyaman ketimbang panas terik di luar rumah.

Belum lagi daerah pemukiman yang biasanya nggak pernah banjir, akhir-akhir ini lebih sering banjir. Sungai meluap lebih cepat dari sebelumnya ketika intensitas hujan cukup tinggi. Di musim kemarau, beberapa daerah di Indonesia mengalami kekeringan yang lumayan parah. Iya, ‘kan?

Dilansir oleh BBC News pada 10 September 2021, “Jumlah bencana alam yang terkait dengan cuaca di seluruh dunia naik lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir.” Ini adalah pernyataan dari Badan Meteorologi Dunia (WMO) terkait dampak peningkatan suhu global yang sesuai dengan tulisan David Wallace tentang kengerian di masa depan. Rasanya tidak usah jauh-jauh kita membayangkan bagaimana masa depan nanti, toh yang ada di depan mata saja saat ini sudah lebih dari cukup untuk membuka kesadaran berpikir.

Apa Penyebab Perubahan Iklim?

Ditjen PPI dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyebutnya sebagai hasil dari aktivitas manusia yang membuat pasokan gas rumah kaca meningkat, sehingga muncul Efek Rumah Kaca.

Sederhananya begini. Milyaran manusia menghasilkan sampah setiap harinya. Sampah-sampah tersebut tidak dibuang atau dikelola secara tepat. Ada yang berakhir di laut, menggunung di TPA, atau berserakan begitu saja di jalanan. Sampah-sampah ini kemudian menghasilkan gas metana yang semakin lama semakin terperangkap di atmosfer bumi dan menyebabkan efek rumah kaca.

(sumber gambar: ditjenppi.menlhk.go.id)

Pola konsumsi manusia yang serba instan juga turut ambil bagian dalam perubahan iklim. Pemakaian wadah sekali pakai dari plastik dan kertas misalnya, membuat pelaku bisnis tergerak untuk memproduksi berbagai inovasi kemasan. Pabrik-pabrik ini menghasilkan limbah dan bahan pencemar yang mengotori udara dan tanah.

Jangan lupakan penebangan pohon untuk pembukaan lahan tanaman industri dan pemukiman yang mengurangi area resapan air. Banyaknya sumur bor yang dibangun masyarakat demi kebutuhan air bersih. Penyebab alami dan akibat tangan manusia akhirnya bersatu padu membentuk perubahan iklim yang semakin diperparah oleh tidak meratanya tindak pencegahan oleh masing-masing kita.

Lalu, apa yang bisa dilakukan #UntukmuBumiku?

Polluted Soil

Infografik Pencemaran Tanah (Sumber: Memuco dari Visually)

Minim Sampah

Gaya Hidup Baru yang Mengubah Tata Benak

Dulu saya mengira daur ulang barang bekas pakai adalah solusi jitu untuk mengurangi sampah. Ini karena saya sering membaca informasi tentang gerakan zero waste dari orang-orang. Setiap membeli sabun, detergen, minyak, atau cemilan ringan, saya selalu mengumpulkan kemasannya dan membuatnya menjadi barang baru seperti tas, keranjang, atau pot tanaman.

Tetapi, semakin lama kemasan tersebut semakin banyak, sedangkan waktu dan tenaga saya untuk mendaur ulang semakin sedikit. Pada akhirnya, saya merasa lelah sendiri. Kemasan-kemasan itu pun berujung di tempat sampah. Begitu juga dengan sampah lainnya yang sudah saya pilah. Oleh petugas kebersihan, sampah tersebut pun hanya bermuara di TPA yang semakin menggunung. Ternyata, sampah kita hanya berpindah tempat tanpa ada tindakan pengolahan.

DK Wardhani, seorang pegiat lingkungan dan penulis buku Menuju Rumah Minim Sampah, kemudian menyadarkan saya lewat konsep minim sampah yang diusungnya. Perubahan iklim kita saat ini muncul akibat pola aktivitas kita yang sangat kompleks di bumi. Karena akar masalahnya adalah gaya hidup kita, maka mengubah gaya hidup adalah cara paling efektif untuk mitigasi perubahan iklim.

Gaya hidup minim sampah artinya kita benar-benar meminimalkan sampah yang kita hasilkan. Prinsipnya adalah menjauhi penggunaan bahan sekali pakai, meminimalkan penggunaan bahan yang bisa mencemari lingkungan, dan memperpanjang siklus hidup barang yang kita pakai.

Konsep minim sampah akan membuat kita berpikir ulang tentang apa yang kita konsumsi, apa yang kita pakai, dan apa yang akan kita hasilkan dari aktivitas-aktivitas kita.

Gambar peralatan makan dan minum yang saya bawa setiap keluar rumah. Kiri ke kanan: Tas kain serbaguna, botol minum air panas, botol minum air biasa, tempat makan, lap tangan pengganti tisu, sendok-garpu-sedotan, dan alkohol untuk desinfektan.

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Dengan gaya hidup minim sampah, seorang #MudaMudiBumi yang hobi travelling akan berpikir ulang untuk menggunakan wadah sekali pakai ketika sedang melakukan perjalanan. Ia bisa membawa peralatan makan dan minumnya sendiri, mengganti tisu dengan sapu tangan, menyewa sepeda ketimbang kendaraan bermotor, memakai tas belanja dari kain, dan hal sederhana lainnya.

Gaya hidup minim sampah akan membuat seorang #MudaMudiBumi bersama anggota keluarganya mencegah sampah sejak di rumah. Kita bisa berbelanja menggunakan wadah sendiri, mengonsumsi makanan-makanan sehat tanpa kemasan, makan tanpa bersisa, juga menggunakan perlengkapan perawatan tubuh berbahan alami. Menanam sendiri makanan kita adalah cara lain untuk menikmati proses kehidupan dengan belajar dari alam. Selain berkebun di halaman, menggunakan detergen dan sabun ramah lingkungan, menghemat pemakaian listrik, juga mengolah sampah organik kita sendiri menjadi kompos adalah hal-hal kecil sederhana yang bisa dilakukan dari rumah.

Tanam Sendiri Makananmu

Gambar kebun mini saya di halaman rumah. Saya menanam sebagian sayuran dan buah yang kami makan sehari-hari. Sawi, salada, bayam, bawang merah, tomat, semangka, terung, juga berbagai sayur dan buah lainnya. Menanam sendiri makanan kita banyak memberi keuntungan. Selain lebih menyehatkan karena bebas insektisida berbahaya, rumah menjadi lebih hijau, sejuk dan indah. Juga menghemat pengeluaran sayur setiap bulannya. Seru deh!

(Sumber: Dokumen Pribadi)

Foto ini adalah kompos yang dihasilkan dari komposter mini. Kompos ini saya gunakan untuk memupuk sayur dan buah yang saya tanam.

Foto di samping kanan adalah komposter mini yang saya buat dari barang bekas seperti tong cat, potongan pipa, juga botol plastik untuk menampung air lindi. Air lindi komposter digunakan juga untuk disiram ke media tanam sebagai pupuk cair.

Jika semua orang bersama-sama melakukan sedikit saja perubahan kecil, kita bisa membuat sebuah perbedaan besar.

(The Little Green Book)

Ini adalah lerak, tumbuhan yang fungsinya sama seperti sabun. Saya gunakan untuk menyuci piring atau kain. Belum sepenuhnya  penggunaan detergen saya ganti dengan lerak, tetapi ini lumayan mengurangi limbah.

Foto di atas adalah aneka pupuk cair, eco-enzyme, dan insektisida nabati yang saya buat sendiri dari sampah organik dapur. Fungsinya sebagai pupuk tanaman. Bergantung kandungannya, ada pupuk khusus untuk daun saja, khusus saat berbunga dan berbuah, atau khusus saat menyemai benih. Beberapa saya buat menjadi hormon dan enzim tambahan.

Cangkang telur, sisa petikan sayur, isi perut ikan, dan sisa dapur lainnya, setelah habis umurnya, bisa kita perpanjang  menjadi bentuk lain yang juga memberi manfaat. (Sumber foto: Dok. Pribadi)

Pada akhirnya, gaya hidup minim sampah akan mengubah tata benak atas pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan yang kita ambil saat ini dan yang akan datang. Apa yang kita beli, apa yang kita makan, dan apa yang benar-benar kita butuhkan. Kita membeli karena kebutuhan, bukan keinginan. Dunia ini tidak akan pernah cukup untuk memuaskan keinginan kita. Hidup minim sampah akan menjadikan kita manusia yang tidak konsumtif, lebih bijaksana, peduli, dan bertanggung jawab atas lingkungan. 

Bayangkan jika sebagian besar penduduk Indonesia mampu menerapkan konsep minim sampah ini, barangkali keadaan lingkungan kita akan lebih baik dari sebelumnya. Perlahan tapi pasti, proses mitigasi perubahan iklim akan berjalan lebih efektif.

Barangkali, wajah-wajah para tukang sampah akan lebih berseri karena mereka tidak perlu lagi mengorek gunung sampah. Barangkali, akan ada banyak jiwa yang terselamatkan. Manusia, hewan, juga pepohonan. Kita akan bisa lagi melihat laut biru yang bersih beserta ikan-ikan yang sehat. Kita mungkin akan menyaksikan lagi keramaian capung dan kupu-kupu di sekitar rumah. Dan bisa jadi, kita akan bisa menghirup udara lebih bebas dan lepas dari sebelumnya.

Kata Soekarno, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Artinya, pemuda adalah harapan masa depan untuk perubahan bumi yang lebih baik. Sebagai muda-mudi cerdas, kita pastilah nggak mau ketinggalan dengan tren gaya hidup minim sampah ini. Sebuah gaya hidup keren yang mengubah tata benak kita menjadi lebih positif dan inspiratif.

Ayo, #TimeforActionIndonesia! Saya bersumpah akan menerapkan gaya hidup minim sampah semaksimal yang saya bisa dan menyebarkan gelombang positif ini ke lebih banyak orang.

Menyebar Semangat Positif

Siapapun kita, apapun hobi kita, dengan gaya hidup minim sampah, kita bisa melakukan apa saja untuk menjaga bumi. Hal-hal kecil, hal-hal besar, semuanya memberi kontribusi positif bagi alam ini.

Menyebarkan semangat untuk menjaga lingkungan kita adalah seperti menyebarkan semangat kehidupan.

Saya, bersama perpustakaan pribadi saya, akan selalu mengajak dan menyebar semangat melindungi bumi lewat ulasan buku-buku bertema hijau, menulis topik-topik lingkungan, juga melakukan kegiatan-kegiatan hijau, berkebun, mengolah sampah pribadi, dan mengembalikan apa yang berasal dari bumi agar kembali ke bumi.

Untuk masa depan bumi yang lebih baik.

Pin It on Pinterest

Share This