Cagar Budaya Indonesia: Sebuah Renjana untuk Mengikat Rantai Sejarah

Oleh : Evyta Ar

Puing-puing Candi Prambanan yang saya lewati beberapa tahun lalu membawa ingatan saya pada kisah restorasinya yang teramat panjang.  Bebatuan besar tersebut telah menjadi saksi bisu selama ribuan tahun atas banyak peristiwa. Atas silih bergantinya jejak-jejak penguasa yang pernah ada. Pun, atas berbagai kehancuran karena bencana alam dan ulah manusia hingga kini.

Kalaulah saja C.A. Lons tak menemukannya di tahun 1733, mungkin tak akan ada penelitian lanjut tentang candi megah nan indah ini. Kita tak akan pernah tahu bahwa, dahulu di Jawa kuno, pernah ada karya arsitektur Hindu terbesar di masa klasik jika tak ada andil tangan-tangan baik para sejarawan. Kita boleh jadi tidak akan mengetahui bahwa pernah ada perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekatnya yang membutuhkan strategi dan tenaga luar biasa.

Epos Ramayana, arca Lokapala, juga pohon Kalpataru yang terpahat di dinding-dinding candi ini tengah bercerita kepada setiap yang datang bahwa inilah bas-relief, salah satu jenis relief tinggi agama Hindu terbaik di abad ke-9.

Menelusurinya membuat bulu kuduk saya berdiri. Saya membayangkan bagaimana candi sebesar ini dibangun oleh tubuh-tubuh kecil manusia. Tanpa semen, tanpa alat berat, hanya struktur batu-batunya yang saling mengunci. Unik.

Di lain waktu, masih dari provinsi yang sama, Jawa Tengah, saya menyinggahi sisa-sisa pondasi Dharmasala di antara rerumputan yang membeku di kaki pegunungan Dieng. Suhu mencapai minus 5 hingga 6 derajat saat saya turun dari Bukit Sikunir kala itu.

Tak jauh dari Dharmasala, berdiri Candi Arjuna yang sebagian bangunannya masih dalam proses restorasi. Terdapat kayu-kayu penyangga di sekeliling candi yang sedang dipugar menemani perhelatan Dieng Culture Festival 2018 yang sedang berlangsung.

Dieng Culture Festival

adalah salah satu upaya pemerintah setempat  dalam rangka kampanye mengenalkan cagar budaya Situs Dieng kepada masyarakat umum. Festival ini sendiri menyuguhkan banyak kegiatan seperti Festival Domba sebagai salah satu komoditas utama Dieng,  Festival Caping sebagai simbol esensi pertanian dalam kehidupan petani Dieng, serta festival-festival budaya lainnya termasuk kirab budaya lokal.

Restorasi Candi Siwa Prambanan dari Masa ke Masa

Kiri ke kanan: Kondisi awal Candi Siwa Prambanan saat terkubur, pemugaran Candi Siwa (candi utama) tahun 1925, serta purna pugar tahun 1953. Peresmian candi dilakukan oleh Presiden RI masa itu, Ir. Soekarno. Foto ini saya ambil dari Museum Candi Prambanan.

Sama seperti Prambanan, komplek Candi Dieng pun diduga dibangun oleh raja-raja dari Wangsa Sanjaya pada akhir abad ke-8. Tak diketahui secara pasti bagaimana sejarah berdirinya candi-candi ini, namun menyusuri percandian tersebut menyadarkan saya bahwa betapa kayanya Indonesia dengan cagar budaya yang, tentu saja, menyuguhkan beragam kisah dari masa ke masa.

Jatuh Cinta dan Memahami Wajah Cagar Budaya

Daerah atau wilayah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan, itulah yang disebut cagar budaya.

Berkunjung ke banyak tempat sejatinya membuat saya semakin memahami bahwa cagar budaya kita memiliki banyak wajah. Tak hanya sebatas peninggalan berupa candi-candi atau benda purbakala saja, melainkan juga meliputi bangunan, benda, struktur, situs dan kawasan dari semua lini masa yang pernah ada sampai hari ini. Seluas itu ternyata ruang lingkup cagar budaya Indonesia kita.

Kawasan Cagar Budaya Malioboro

Jalan Maliboro Yogyakarta sering dilalui oleh kirab budaya yang menyuguhkan kesenian lokal setempat. Kirab budaya ini merupakan bagian dari daya tarik Kawasan Cagar Budaya Malioboro yang, semakin banyak orang tahu, akan semangat menarik dan penasaran mereka karena cerita-cerita yang dilakukan.

Masih di Medan, Masjid Raya Al-Ma’shun merupakan situs cagar budaya yang sangat istimewa. Masjid ini selesai dibangun pada tahun 1909 oleh Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah dari kasultanan Deli. Yang membuatnya istimewa, selain karena interior indahnya yang bergaya Moorish, adalah rancang bangun 5 kubahnya yang unik. Masjid ini merupakan satu-satunya masjid pada masanya yang masih utuh di Indonesia sampai saat ini. Luas biasa, ya?

Istana Maimoon termasuk kategori Bangunan Cagar Budaya. Terdapat benda-benda peninggalan kesultanan Deli di dalamnya, termasuk informasi sejarah seputar kesultanan ini dan para sultan yang pernah memimpin. Belum ke Medan namanya jika belum ke istana indah ini.

Sebut saja Malioboro di Yogyakarta. Kawasan yang meliputi Pasar Beringharja, museum, rumah-rumah lama, tugu, kuliner, bahkan kesenian dan kirab budaya yang acapkali meramaikan jalan utama Malioboro adalah satu kesatuan utuh dari Kawasan Cagar Budaya Malioboro.

Atau seperti Medan yang memiliki Kawasan Cagar Budaya Kesawan. Kawasan ini menyuguhkan aneka bangunan dengan desain asli peninggalan zaman Belanda, kuliner, dan ragam etnis yang memiliki kekhasan tersendiri. Di Kesawan pula, seseorang akan dengan mudah menemukan Bangunan Cagar Budaya Rumah Tjong A Fie, seorang filantropis yang cukup berperan besar bagi perkembangan sosial dan ekonomi di Medan pada masanya.

Manuskrip, dokumen penting, atau buku yang pernah berhubugan dengan sejarah dan budaya bangsa kita sepenuhnya merupakan benda-benda cagar budaya yang umumnya dapat kita nikmati di sekitar kawasan cagar budaya atau museum-museum.

Saya memiliki sebuah buku lama terbitan tahun 1948, tiga tahun sejak Indonesia merdeka. Buku karya Dr. Seno Sastroamidjojo yang diterbitkan oleh Penerbit Dian Rakjat dengan judul Obat Asli Indonesia ini berisi ratusan daftar tumbuhan obat di Indonesia, mulai dari jenis dan bentuk, zat yang terkandung, hingga cara penggunaan dan khasiatnya yang dapat menyembuhkan. Sebuah karya masterpiece.

Dari buku ini, saya akhirnya mengetahui bagaimana sejarah obat-obatan bangsa kita dulu saat masa penjajahan Jepang. Persediaan obat dari luar negeri yang semakin menipis memacu Dr. Seno untuk menyelidiki tumbuhan dari alam Indonesia yang bersifat menyembuhkan. Menurutnya, suatu saat kita akan terpaksa mempergunakan obat-obatan alami ini ketika sudah tak ada lagi pasokan obat yang masuk.

Saat ini barangkali buku Dr. Seno tersebut tidak termasuk benda cagar budaya menurut undang-undang seperti laiknya teks dokumen proklamasi atau manuskrip nusantara. Namun bagi saya, buku bersampul kusam dengan lembaran menguning yang masih bertuliskan ejaan lama ini akan saya lindungi dari kepunahan, sebab suatu saat di masa depan, buku ini akan sangat berguna bagi generasi berikutnya. Dari buku ini, generasi mendatang bisa mempelajari betapa kayanya alam Indonesia dengan tumbuhan obat. Harapannya tentu saja agar mereka semakin mencintai negeri ini. Entah, apakah buku ini kelak akan menjadi benda cagar budaya atau tidak, tak ada yang tahu. Semua tergantung bagaimana generasi kita melestarikan banyak hal.

Terus terang, setelah melihat dan memaknainya, saya jatuh cinta berkali-kali pada cagar budaya kita. Entah itu bendanya, situs, kawasan, atau bangunannya, pun meski sekadar puing-puingnya saja. Saya tahu, cagar budaya yang pernah saya lihat dan kunjungi hanyalah secuil saja dari keseluruhan jumlah yang ada.

Menurut data yang dihimpun oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ada total 48.922 obyek yang sudah diverifikasi. Dari sekian banyak jumlah ini, ada 1.619 obyek cagar budaya Indonesia yang direkomendasikan. Saya sungguh takjub saat membaca semua data-data ini. Jumlah yang sangat besar. Kira-kira kapan, ya, saya selesai mengunjungi dan melihat semuanya? Bisa-bisa sampai uban di kepala saya tumbuh, itu pun kalau saya masih hidup di dunia ini. Luar biasa, ya, kekayaan budaya bangsa kita.

Sebetulnya, ketika kita sudah jatuh cinta pada sesuatu, kita akan mulai tergerak untuk mencari tahu lebih dalam, kemudian kita akan peduli, menjaga, menyayangi dan semakin menyintainya. Tidakkah begitu cinta itu? Seperti itulah kita seharusnya terhadap cagar budaya Indonesia.

“Kita tak butuh banyak hal untuk peduli. Kita hanya butuh jatuh cinta, maka peduli akan mengikuti.”

Literasi Cagar Budaya, Sebuah Renjana untuk Melestarikan

Setiap orang pasti punya kisah untuk diceritakan dari semua perjalanan-perjalanan yang dilakukan. Melihat animo masyarakat kita saat ini yang semakin meningkat untuk melakukan perjalanan wisata ke provinsi-provinsi di Indonesia tentunya membuat kita patut bersyukur. Semakin banyak orang yang berkunjung ke cagar budaya Indonesia, semakin banyaklah yang mengenal dan menghargainya. Begitu konsepnya, sih. Pada realitanya, masih banyak tantangan yang perlu dihadapi, terutama terkait kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian cagar budaya kita.

Sebagai masyarakat umum, kita sebetulnya bisa melakukan hal-hal sederhana tetapi cukup efektif untuk menjaga agar cagar budaya kita tetap dikenal dan dirawat sampai ke tahun-tahun mendatang. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kita hanya butuh untuk jatuh cinta pada cagar budaya Indonesia, maka kepedulian itu akan datang dengan sendirinya.

Untuk menumbuhkan kecintaan tersebut, program literasi cagar budaya sangatlah dibutuhkan. Begini kontribusi yang bisa diterapkan oleh masyarakat umum, yang selama ini sudah saya jalani.

1. Kenali dan Telusuri Cagar Budaya Indonesia

“Tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta.” Begitulah pepatah mengatakan. Bagaimana bisa kita bercerita tentang renjana atau passion dalam pelestarian cagar budaya kita jika tidak pernah mengenalnya?

Menurut saya, ada dua cara untuk mengenal cagar budaya. Pertama, membaca informasinya.

Di era digital seperti sekarang ini, sumber-sumber informasi tentang obyek cagar budaya sangatlah banyak di internet. Maksimalkan penggunaan internet kita. Laman situs web Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud adalah salah satu sumber paling lengkap yang menyediakan informasi Cagar Budaya Indonesia dan dapat diakses di www.kebudayaan.kemdikbud.go.id. Telusuri apa saja cagar budaya yang ada, di mana lokasinya, bagaimana sejarahnya dan informasi-informasi pendukung lainnya. Laman tersebut juga dilengkapi dengan foto-foto dari obyek cagar budaya, sehingga pembaca dapat dengan mudah mengenal berbagai cagar budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Cara kedua untuk mengenal cagar budaya, tentu saja, mengunjunginya. Setelah membaca dan mencari tahu informasi, kita dapat berkunjung ke tempat-tempat yang menjadi cagar budaya, minimal di daerah tempat kita tinggal. Di lain waktu dan kesempatan, jika kita sedang mengunjungi provinsi lain, kita bisa menyempatkan diri melihat tempat-tempat wisata yang masuk ke dalam kategori cagar budaya Indonesia. Oh, iya, kita juga bisa merancang perjalanan berkelompok bersama teman-teman kita ke tempat-tempat cagar budaya.

2. Mendokumentasikan, Mengarsipkan dan Menyebarluaskan

Setiap kali berkunjung ke suatu tempat, saya sering mendokumentasikan banyak hal. Bangunan, benda, budaya, bahkan karakteristik atau kebiasaan masyarakat setempat. Mendokumentasikan sebenarnya tidak terbatas pada pengambilan foto saja, melainkan juga merekamnya dalam bentuk video atau mencatatnya dalam bentuk tulisan. Dengan mendokumentasikan cagar budaya Indonesia, kita sudah turut membantu pemerintah dalam mengarsipkan informasinya.

Bahan-bahan yang kita dokumentasikan tadi bisa diwariskan kepada anak cucu kita atau dibagikan ke media sosial. Jejaring pertemanan kita pasti akan sangat senang bisa ikut menikmati keindahan foto dan video yang kita buat. Mereka yang belum tahu tentang satu obyek cagar budaya akhirnya menjadi tahu. Mereka yang belum pernah mengunjungi tempat-tempat di dokumentasi yang kita buat akhirnya jadi berniat ingin berkunjung. Tentu saja, dalam setiap dokumentasi yang kita buat, jangan lupa untuk menyelipkan pesan pelestarian cagar budaya.

Foto, video dan tulisan dalam bentuk artikel blog atau web, status di media sosial, atau bahkan dalam bentuk buku sekalipun akan sangat efektif untuk menyebarluaskan informasi cagar budaya. Lewat konten-konten ini, kita juga bisa saling menjaga dan mengawasi perkembangan cagar budaya.

3. Membuat Kliping dan Melakukan Pengawasan

Saya suka mengumpulkan informasi menarik dari media daring maupun cetak seperti koran, majalah atau situs web yang ada menjadi sebuah kliping. Dalam kaitannya dengan cagar budaya, saya juga mengumpulkan kliping tentang obyek atau perkembangan cagar budaya Indonesia. Terkadang di beberapa media, ada liputan seputar cagar budaya yang di dalamnya, selain diceritakan tentang sejarah atau isi dari cagar budaya yang diliput, penulisnya juga sering menambahkan informasi bagaimana kondisi cagar budaya tersebut saat melakukan liputan.

Bagi saya, informasi ini sangat menarik, karena kita bisa ikut andil dalam aksi kepedulian cagar budaya. Saat kita mengetahui ada sebuah cagar budaya yang kondisinya mungkin kurang maksimal, kita bisa memberikan informasi ini kepada pemerintah atau pengelola setempat untuk ditindak lanjuti. Ketika kita mengetahui dari berita di kliping, ada sebuah cagar budaya yang pengunjungnya menurun, kita bisa ikut ambil bagian dalam mempromosikannya di akun media sosial kita. Menarik, bukan? Kliping juga masih menjadi bagian dari kegiatan mengarsipkan, tetapi saya ingin memisahkannya secara khusus.

Ini contoh beberapa lembar kliping yang saya kumpulkan dari koran daring bertema cagar budaya dan tempat wisata.

4. Menahan Diri dari Melakukan Kerusakan

Biasanya kalau sudah sayang, kita enggan menyakiti. Betul, ‘kan? Samalah seperti sikap kita terhadap cagar budaya. Kalaupun belum bisa sayang, minimal kita menahan diri dari melakukan hal-hal yang bisa merusak cagar budaya. Misalnya, tidak menduduki obyek yang seharusnya tidak diduduki, atau tidak mencoret-coret obyek cagar budaya dengan alasan kreativitas, atau menahan mulut dari mengajak orang lain melakukan hal-hal iseng di sekitar cagar budaya yang berpotensi merusak. Setidaknya ini adalah kewajiban kita pribadi untuk mencegah diri dari melakukan pengrusakan.

Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!

Beberapa bulan lalu, saya menemani saudara dari jauh untuk berkunjung ke Istana Maimun di Medan. Saya pergi bersama adik saya dan anak istrinya. Anaknya masih balita dan luar biasa ‘cerewet’. Setiap kali melihat sebuah benda, keponakan saya ini akan bertanya kepada saya, “Bou, apa tuuu?” Bou adalah sebutan bagi orang Batak untuk memanggil kakak dari ayah kita. Saya tentu saja dengan senang hati akan menjawab semua pertanyaannya. Daya imajinasi dan rasa penasaran anak-anak itu sangat besar. Ini adalah kesempatan bagi orang tua atau orang dewasa untuk memasukkan informasi sebanyak mungkin bagi perkembangan otaknya.

Di lain waktu, ketika saya menemani anak-anak sekolah dasar binaan kami ke Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, saya pun dihujani dengan berbagai pertanyaan.

“Ini apa, Ustazah?”

“Itu untuk apa, Ustazah?”

Dan banyak lagi pertanyaan lainnya setiap kali kami melewati obyek-obyek menarik. Museum di Indonesia sungguh sangatlah kaya akan benda-benda bersejarah.

Dari dua kunjungan ini, saya semakin yakin bahwa, betapa pentingnya kita membawa anak-anak mengenal cagar budaya Indonesia. Jika banyak muncul pertanyaan dari mereka, jangan pernah bosan untuk menjawabnya dan menjelaskan. Ini adalah cara kita merawat ingatan.

Coba bayangkan seandainya generasi sebelum kita tidak merawat berbagai cagar budaya yang ada, mungkin saat ini semua itu akan musnah. Kita tak akan pernah tahu apa saja cagar budaya yang ada. Seandainya dulu tidak ada andil para tokoh dan masyarakat dalam membangun kembali Istana Maimun di kota saya, mungkin kunjungan saya dan keponakan saya yang banyak bertanya itu tak akan pernah ada.

Kita saat ini adalah hasil dari pendahulu kita di masa lalu. Kita saat ini juga merupakan tonggak masa depan anak cucu kita nanti. Kalaulah tidak kita rawat, berbagai cagar budaya Indonesia ini kemungkinan akan musnah di masa depan. Generasi mendatang tak akan pernah bisa mempelajari sejarah bangsa jika sisa-sisa peninggalan terdahulu sudah tak lagi ‘bernyawa’.

Rawat atau musnah. Hanya ada dua pilihan bagi kita. Sebuah estafet perjuangan atas keberlangsungan rantai sejarah Indonesia bergantung pada seberapa peduli kita melestarikan peninggalannya. Jangan sampai estafet ini terputus. Jangan sampai rantai sejarah ini hilang dari ingatan anak cucu kita. Bahwa dahulu, bangsa kita pernah besar dan jaya berkali-kali.

Cagar budaya Indonesia adalah tentang merawat ingatan. Tentang mengikat rantai sejarah. Rawat atau musnah!

Foto ini adalah foto adik saya dan anaknya, yakni keponakan saya. Lihat betapa gembiranya mereka di tengah-tengah kubah Istana Maimoon. Binar mata seorang anak kecil seperti inilah yang ingin kita bangun di masa depan. Binar semangat keceriaan mempelajari budaya bangsanya. Semoga kita bisa melakukannya pada orang-orang terdekat kita.

Tulisan ini saya ikut sertakan pada ajang Kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!” sebagai salah satu kontribusi saya untuk mengajak kita semua turut serta berkontribusi menjaga dan merawat kekayaan cagar budaya bangsa kita. Bagaimana dengan Anda? Ayo, mari ikut berpartisipasi juga seperti saya.

“Setiap kita punya kisah untuk diceritakan.” Semoga kisah-kisah kita bisa menggugah banyak orang. Aamiin.

 #CagarBudayaIndonesia #KemendikbudxIIDN

Kalau Anda merasa artikel ini bermanfaat, yuk, share ke IG, FB, Twitter dan lain-lain. Jika berkenan, boleh dikomentari juga lho ^^

 

Klik tanda panah untuk melihat informasi pada banner berikutnya

Istilah:

Renjana: (bahasa Inggris: passion) adalah perasaan antusiasme yang kuat atau dorongan hasrat terhadap seseorang atau sesuatu. Renjana dapat berkisar dari keinginan yang bersemangat atau kekaguman terhadap sebuah ide, tujuan, atau kegiatan; hingga menikmati sebuah minat atau kegiatan yang antusias; untuk daya tarik yang kuat, kegembiraan, atau emosi terhadap seseorang. Renjana diserap ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Sansekerta रञ्जन rañjana, yang berati hasrat (yang menyala), menyenangkan, sangat menarik, gembira.

 

Referensi daring:

Direktori Candi – http://candi.perpusnas.go.id/
Direktorat Jenderal Kebudayaan – https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya – https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id

Pin It on Pinterest

Share This